Tentang Rowokangkung

LETAK GEOGRAFIS
Kecamatan Rowokangkung mempunyai Luas Wilayah 77,95 Km2 terletak pada 113o 115' 51'' - 113o 21' 40'' Bujur Timur dan 8o57' 57'' - 8o 13' 56'' Lintang Selatan. Secara administratif batas-batas Kecamatan Rowokangkung adalah :
1. Sebelah Utara : Kecamatan Jatiroto
2. Sebelah Selatan : Kecamatan Yosowilangun
3. Sebelah Barat : Kecamatan Tekung
4. Sebelah Timur : Kabupaten Jember

KECAMATAN ROWOKANGKUNG TERDIRI ATAS 7 DESA YAITU :
1. Desa Nogosari
2. Desa Sumbersari
3. Desa Sumberanyar
4. Desa Dawuhan Wetan
5. Desa Kedungrejo
6. Desa Rowokangkung
7. Desa Sidorejo
8. Desa Merakan

KODE POS :
67359

Sabtu, 28 November 2009

Gunung Tangkuban Parahu & Sangkuriang

Pada jaman dahulu, di Jawa Barat hiduplah seorang putri raja yang bernama Dayang Sumbi. Ia mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Sangkuriang. Anak tersebut sangat gemar berburu di dalam hutan. Setiap berburu, dia selalu ditemani oleh seekor anjing kesayangannya yang bernama Tumang. Tumang sebenarnya adalah titisan dewa, dan juga bapak kandung Sangkuriang, tetapi Sangkuriang tidak tahu hal itu dan ibunya memang sengaja merahasiakannya.

Pada suatu hari, seperti biasanya Sangkuriang pergi ke hutan untuk berburu. Setelah sesampainya di hutan, Sangkuriang mulai mencari buruan. Dia melihat ada seekor burung yang sedang bertengger di dahan, lalu tanpa berpikir panjang Sangkuriang langsung menembaknya, dan tepat mengenai sasaran. Sangkuriang lalu memerintah Tumang untuk mengejar buruannya tadi, tetapi si Tumang diam saja dan tidak mau mengikuti perintah Sangkuriang. Karena sangat jengkel pada Tumang, maka Sangkuriang lalu mengusir Tumang dan tidak diijinkan pulang ke rumah bersamanya lagi.

Sesampainya di rumah, Sangkuriang menceritakan kejadian tersebut kepada ibunya. Begitu mendengar cerita dari anaknya, Dayang Sumbi sangat marah. Diambilnya sendok nasi, dan dipukulkan ke kepala Sangkuriang. Karena merasa kecewa dengan perlakuan ibunya, maka Sangkuriang memutuskan untuk pergi mengembara, dan meninggalkan rumahnya.

Setelah kejadian itu, Dayang Sumbi sangat menyesali perbuatannya. Ia berdoa setiap hari, dan meminta agar suatu hari dapat bertemu dengan anaknya kembali. Karena kesungguhan dari doa Dayang Sumbi tersebut, maka Dewa memberinya sebuah hadiah berupa kecantikan abadi dan usia muda selamanya.

Setelah bertahun-tahun lamanya Sangkuriang mengembara, akhirnya ia berniat untuk pulang ke kampung halamannya. Sesampainya di sana, dia sangat terkejut sekali, karena kampung halamannya sudah berubah total. Rasa senang Sangkuriang tersebut bertambah ketika saat di tengah jalan bertemu dengan seorang wanita yang sangat cantik jelita, yang tidak lain adalah Dayang Sumbi. Karena terpesona dengan kecantikan wanita tersebut, maka Sangkuriang langsung melamarnya. Akhirnya lamaran Sangkuriang diterima oleh Dayang Sumbi, dan sepakat akan menikah di waktu dekat.

Pada suatu hari, Sangkuriang meminta ijin calon istrinya untuk berburu di hatan. Sebelum berangkat, ia meminta Dayang Sumbi untuk mengencangkan dan merapikan ikat kapalanya. Alangkah terkejutnya Dayang Sumbi, karena pada saat dia merapikan ikat kepala Sangkuriang, Ia melihat ada bekas luka. Bekas luka tersebut mirip dengan bekas luka anaknya. Setelah bertanya kepada Sangkuriang tentang penyebab lukanya itu, Dayang Sumbi bertambah tekejut, karena ternyata benar bahwa calon suaminya tersebut adalah anaknya sendiri.

Dayang Sumbi sangat bingung sekali, karena dia tidak mungkin menikah dengan anaknya sendiri. Setelah Sangkuriang pulang berburu, Dayang Sumbi mencoba berbicara kepada Sangkuriang, supaya Sangkuriang membatalkan rencana pernikahan mereka. Permintaan Dayang Sumbi tersebut tidak disetujui Sangkuriang, dan hanya dianggap angin lalu saja.

Setiap hari Dayang Sumbi berpikir bagaimana cara agar pernikahan mereka tidak pernah terjadi. Setelah berpikir keras, akhirnya Dayang Sumbi menemukan cara terbaik. Dia mengajukan dua buah syarat kepada Sangkuriang. Apabila Sangkuriang dapat memenuhi kedua syarat tersebut, maka Dayang Sumbi mau dijadikan istri, tetapi sebaliknya jika gagal maka pernikahan itu akan dibatalkan. Syarat yang pertama Dayang Sumbi ingin supaya sungai Citarum dibendung. Dan yang kedua adalah, meminta Sangkuriang untuk membuat sampan yang sangat besar untuk menyeberang sungai. Kedua syarat itu harus diselesai sebelum fajar menyingsing.

Sangkuriang menyanggupi kedua permintaan Dayang Sumbi tersebut, dan berjanji akan menyelesaikannya sebelum fajar menyingsing. Dengan kesaktian yang dimilikinya, Sangkuriang lalu mengerahkan teman-temannya dari bangsa jin untuk membantu menyelesaikan tugasnya tersebut. Diam-diam, Dayang Sumbi mengintip hasil kerja dari Sangkuriang. Betapa terkejutnya dia, karena Sangkuriang hampir menyelesaiklan semua syarat yang diberikan Dayang Sumbi sebelum fajar.

Dayang Sumbi lalu meminta bantuan masyarakat sekitar untuk menggelar kain sutera berwarna merah di sebelah timur kota. Ketika melihat warna memerah di timur kota, Sangkuriang mengira kalau hari sudah menjelang pagi. Sangkuriang langsung menghentikan pekerjaannya dan merasa tidak dapat memenuhi syarat yang telah diajukan oleh Dayang Sumbi.

Dengan rasa jengkel dan kecewa, Sangkuriang lalu menjebol bendungan yang telah dibuatnya sendiri. Karena jebolnya bendungan itu, maka terjadilah banjir dan seluruh kota terendam air. Sangkuriang juga menendang sampan besar yang telah dibuatnya. Sampan itu melayang dan jatuh tertelungkup, lalu menjadi sebuah gunung yang bernama Tangkuban Perahu.

Rabu, 25 November 2009

Asal Usul Kota Surabaya atau Suroboyo


Dahulu, di lautan luas sering terjadi perkelahian antara ikan hiu Sura dengan Buaya. Mereka berkelahi hanya karena berebut mangsa. Keduanya sama-sama kuat, sama-sama tangkas, sama-sama cerdik, sama-sama ganas, dan sama-sama rakus. Sudah berkali-kali mereka berkelahi belum pernah ada yang menang atau pun yang kalah. Akhimya mereka mengadakan kesepakatan.

“Aku bosan terus-menerus berkelahi, Buaya,” kata ikan Sura.

“Aku juga, Sura. Apa yang harus kita lakukan agar kita tidak lagi berkelahi?” tanya Buaya.

Ikan Hiu Sura yang sudah memiliki rertcana untuk menghentikan perkelahiannya dengan Buaya segera menerangkan.

“Untuk mencegah perkelahian di antara kita, sebaiknya kita membagi daerah kekuasaan menjadi dua. Aku berkuasa sepenuhnyadi dalam air dan harus mencari mangsa di dalam air, sedangkan kamu berkuasa di daratan dan mangsamu harus yang berada di daratan. Sebagai batas antara daratan dan air, kita tentukan batasnya, yaitu tempat yang dicapai oleh air laut pada waktu pasang surut!”

“Baik aku setujui gagasanmu itu!” kata Buaya.

Dengan adanya pembagian wilayah kekuasaan, maka tidak ada perkelahian lagi antara Sura dan Buaya. Keduanya telah sepakat untuk menghormati wilayah masing-masing.

Tetapi pada suatu hari, Ikan Hiu Sura mencari mangsa di sungai. Hal ini dilakukan dengan sembunyi-sembunyi agar Buaya tidak mengetahui. Mula-mula hal ini memarig tidak ketahuan. Tetapi pada suatu hari Buaya memergoki perbuatan Ikan Hiu Sura ini. Tentu saja Buaya sangat marah melihat Ikan Hiu Sura melanggar janjinya.

“Hai Sura, mengapa kamu melanggar peraturan yang telah kita sepakati berdua? Mengapa kamu berani memasuki sungai yang merupakan wilayah kekuasaanku?” tanya Buaya.

Ikan Hiu Sura yang tak merasa bersalah tenang-tenang saja. “Aku melanggar kesepakatan? Bukankah sungai ini berair.

Bukankah aku sudah bilang bahwa aku adalah penguasa di air? Nah, sungai ini ‘kan ada airnya, jadi juga termasuk daerah kekuasaanku,” kata Ikan Hiu Sura.

“Apa? Sungai itu ‘kari tempatnya di darat, sedangkan daerah kekuasaanmu ada di laut, berarti sungai itu adalah daerah kekuasaanku!” Buaya ngotot.

“Tidak bisa. Aku “kan tidak pernah bilang kalau di air hanya air laut, tetapi juga air sungai,” jawab Ikan Hiu Sura.

“Kau sengaja mencari gara-gara, Sura?”

“Tidak! Kukira alasanku cukup kuat dan aku memang di pihak yang benar!” kata Sura.

“Kau sengaja mengakaliku. Aku tidak sebodoh yang kau kira!” kata Buaya mulai marah.

“Aku tak peduli kau bodoh atau pintar, yang penting air sungai dan air laut adalah kekuasaanku!” Sura tetap tak mau kalah.

“Kalau begitu kamu memang bermaksud membohongiku ? Dengan demikian perjanjian kita batal! Siapa yang memiliki kekuatan yang paling hebat, dialah yang akan menjadi penguasa tunggal!” kata Buaya.

“Berkelahi lagi, siapa takuuut!” tantang Sura dengan pongahnya.

Pertarungan sengit antara Ikan Hiu Sura dan Buaya terjadi lagi. Pertarungan kali ini semakin seru dan dahsyat. Saling menerjang dan menerkam, saling menggigit dan memukul. Dalam waktu sekejap, air di sekitarnya menjadi merah oleh darah yang keluar dari luka-luka kedua binatang itu. Mereka terus bertarung mati-matian tanpa istirahat sama sekali.

Dalam pertarungan dahsyat ini, Buaya mendapat gigitan Ikan Hiu Sura di pangkal ekornya sebelah kanan. Selanjutnya, ekornya itu terpaksa selalu membelok ke kiri. Sementara ikan Sura juga tergigiut ekornya hingga hampir putus lalu ikan Sura kembali ke lautan. Buaya puas telah dapat mempertahankan daerahnya.

Pertarungan antara Ikan Hiu yang bernama Sura dengan Buaya ini sangat berkesan di hati masyarakat Surabaya. Oleh karena itu, nama Surabaya selalu dikait-kaitkan dengan peristiwa ini. Dari peristiwa inilah kemudian dibuat lambang Kota Madya Surabaya yaitu gambar ikan sura dan buaya.

Namun adajugayang berpendapat Surabaya berasal dari Kata Sura dan Baya. Sura berarti Jaya atau selamat Baya berarti bahaya, jadi Surabaya berarti selamat menghadapi bahaya. Bahaya yang dimaksud adalah serangah tentara Tar-tar yang hendak menghukum Raja Jawa.Seharusnya yang dihukum adalah Kertanegara, karena Kertanegara sudah tewas terbunuh, maka Jayakatwang yang diserbu oleh tentara Tar-tar. Setelah mengalahkan Jayakatwang orang-orang Tar-Tar merampas harta benda dan puluhan gadis-gadis cantik untuk dibawa ke Tiongkok. Raden Wijaya tidak terima diperlakukan sepereti ini. Dengan siasat yang jitu, Raden Wijaya menyerang tentara Tar-Tar di pelabuhan Ujung Galuh hingga mereka menyingkir kembali ke Tiongkok.

Selanjutnya, dari hari peristiwa kemenangan Raden Wijaya inilah ditetapkan sebagai hari jadi Kota Surabaya.

Surabaya sepertinya sudah ditakdirkan untuk terus bergolak. Tanggal 10 Nopmber 1945 adalah bukti jati diri warga Surabaya yaitu berani menghadapi bahaya serangan Inggris dan Belanda.

Di jaman sekarang, pertarungan memperebutkan wilayah air dan darat terus berlanjut. Di kala musim penghujan tiba kadangkala banjir menguasai kota Surabaya. Di musim kemarau kadangkala tenpat-tempat genangan air menjadi daratan kering. Itulah Surabaya.
(TAMAT)

Sabtu, 21 November 2009

PUTERI SALJU DAN TUJUH MANUSIA KERDIL

Pada jaman dulu, di tengah-tengah musim dingin, ketika kepingan-kepingan salju sedang turun seperti bulu-bulu di atas tanah, seorang Ratu duduk di sebuah jendela yang kusennya terbuat dari kayu hitam dan menjahit. Dan karena menjahit dan melihat keluar pada bentangan darat yang serba putih, ia tertusuk jarinya sendiri dengan jarum, dan tiga tetes darah jatuh di atas salju di luar. Karena warna merah terlihat sangat menyolok terhadap warna putih, Ratu berkata kepada dirinya sendiri,

"Oh, what would I not give to have a child as white as snow, as red as blood, and as black as ebony!"

Dan keinginannya terkabul, karena tak begitu lama setelah itu ia melahirkan seorang anak perempuan, dengan kulit seputih salju, bibir dan pipi semerah darah, dan rambut sehitam kayu eboni. Orang-orang menyebutnya Puteri Salju, dan tak lama setelah itu sang Ratu meninggal. Setahun kemudian, Raja menikah lagi. Isteri barunya adalah seorang wanita cantik, tapi begitu sombong dan sok berkuasa sehingga ia tak tinggal diam terhadap siapapun yang menyamai kecantikannya.Ratu baru itu mempunyai sebuah cermin ajaib, dan bila ia berdiri di depannya, dengan mengamati pantulan dirinya sendiri, ia bertanya:
"Cermin, cermin, di atas dinding, Siapa yang paling cantik di antara kita?
dan cermin itu selalu menjawab:

"Paduka, Ratu, adalah wanita yang paling cantik"

Kemudian ia sangat bahagia, karena ia tahu cermin itu selalu berkata yang sebenarnya. Tapi Puteri Salju tumbuh semakin cantik setiap hari, dan ketika ia menginjak usia tujuh tahun kecantikannnya telah menyamai Ratu, dan bahkan lebih cantik daripada Ratu sendiri. Suatu hari ketika Ratu bertanya kepada cerminnya sebagaimana biasanya, cermin itu menjawab:
"Cermin, cermin, di atas dinding, Siapa yang paling cantik di antara kita?"

kini cermin itu menjawab:

"Paduka cantik, Ratu, itu memang benar. Tapi Puteri Salju jauh lebih cantik daripada paduka."

Kemudian Ratu itu dikuasai oleh nafsunya yang paling mengerikan dan menaruh iri hati kepada siapa saja yang tidak ia sukai. Mulai dari saat itulah ia membenci Puteri Salju yang malang, dan setiap hari iri hati, kebencian dan kedengkiannya terus berkembang, karena iri hari dan rasa dengki ibarat benih segala kejahatan yang bersemi dan bercokol dalam hati. Akhirnya ia tidak tahan lagi terhadap keberadaan Puteri Salju dan, setelah memanggil seorang pemburu, ia berkata,

"Bawalah anak ini keluar kedalam hutan dan jangan sekali-kali kau biarkan aku melihat wajahnya lagi. Kau harus membunuhnya dan bawa kembali paru-paru dan jantungnya, sehingga aku tahu dengan pasti bahwa ia telah mati."
Si pemburu melakukan apa yang telah diperintahkan dan membawa Puteri Salju keluar kedalam hutan, tapi saat ia menghunus pisaunya untuk membantainya, ia berkata,

"Oh, tuan pemburu, jangan kau bunuh aku. Aku berjanji bahwa aku akan menghilang kedalam hutan dan tidak pernah lagi pulang ke rumah."

Karena ia begitu muda dan cantik si pemburu menaruh belas kasihan terhadapnya dan berkata,
"Baiklah, larilah jauh-jauh, anak malang."

Karena ia berpikir binatang-binatang buas akan segera menemukan dirinya dan memakan dirinya sampai habis. Dan hatinya merasa lebih enteng karena ia tak melakukan pembunuhan itu dengan tangannya sendiri. Saat kembali pulang, seekor anak babi hutan datang berlari melintasi dirinya, maka ia tembak anak babi itu dan membawa pulang jantung dan paru-parunya kepada Ratu sebagai bukti bahwa Puteri Salju telah benar-benar mati. Dan wanita yang jahat itu memerintahkan agar jantung dan paru-paru tersebut direbus dalam air garam, dan memakannya, dengan mengira bahwa ia telah melenyapkan Puteri Salju untuk selamanya.
Nah ketika anak yang malang itu mendapati dirinya sendirian dalam hutan yang lebat pohon-pohon yang ada kelihatan berbentuk aneh-aneh, dan ia merasa begitu takut sehingga tak tahu apa yang harus ia lakukan. Di atas batu-batu yang tajam dan melalui semak-semak berduri ia tersandung, dan binatang-binatang liar berlari melintasi dirinya, tapi mereka tidak menyerangnya. Ia berlari secepat kakinya dapat membawa dirinya, dan saat petang mulai mendekat ia melihat sebuah rumah kecil dan melangkah masuk untuk beristirahat.
Segala sesuatunya yang ada dalam rumah itu sangat kecil, tapi sangat bersih dan rapi. Di tengah-tengah ruangan, berdiri sebuah meja kecil, ditutupi dengan taplak meja berwarna putih dan tujuh buah piring kecil, garpu, sendok, pisau dan gelas minum yang semuanya berukuran kecil. Di hadapan dinding terdapat tujuh buah tempat tidur yang terletak saling bersebelahan, ditutupi dengan kain putih yang amat bersih. Puteri Salju merasa begitu lapar dan haus sehingga ia makan sepotong roti dan sepotong bubur dari masing-masing piring dan minum setetes anggur dari masing-masing gelas.
Kemudian, karena merasa lelah dan ngantuk, ia berbaring di atas salah satu tempat tidur, tapi terasa tidak nyaman. Kemudian ia mencoba semua tempat tidur lainnya secara bergantian, tapi satu tempat tidur terlalu panjang, lainnya terlalu pendek, dan ketika ia mencoba tempat tidur yang ketujuh itulah ia merasa sangat cocok baginya. Maka ia berbaring di atasnya, mengucapkan doa-doanya seperti seorang anak yang baik dan segera tidur pulas.
Ketika malam benar-benar gelap para pemilik rumah kecil itu kembali. Mereka adalah tujuah manusia kerdil yang bekerja di pertambangan, jauh di bawah tengah-tengah gunung. Mereka menyalakan tujuh buah lilin kecil, dan segera setelah kedua mata mereka terbiasa dengan cahaya yang menyilaukan mereka tahu kalau ada seseorang yang telah masuk di ruang mereka, karena semuanya tidak sesuai dengan tatanan yang sama saat mereka meninggalkannya.

Yang pertama berkata, "Siapa yang telah duduk di kursiku?"
Yang kedua berkata, "Siapa yang telah makan rotiku?"
Yang ketiga berkata, "Siapayang telah mencicipi buburku?"
Yang keempat berkata, "Siapa yang telah makan dari piringku?"
Yang kelima berkata, "Siapa yang telah menggunakan garpuku?"
Yang keenam berkata, "Siapa yang telah memotong dengan pisauku?"
Yang ketujuh berKata, "Siapa yang telah minum dari gelasku?"

Kemudian manusia kerdil yang pertama melihat keliling dan melihat sebuah lobang dalam tempat tidurnya, dan ia bertanya,

"Siapa yang telah tidur di atas tempat tidurku?"
Lainnya-lain datang berlari mengitari tempat tidur tersebut, dan berteriak begitu mereka melihat tempat tidur mereka masing-masing,

"Seseorang juga telah tidur di tempat tidur."

Tapi ketika manusia kerdil yang ketujuh datang ke tempat tidurnya, ia melangkah mundur karena heran, karena di sana ia melihat Puteri Salju tertidur pulas. Kemudian ia memanggil teman-temannya, yang menyalakan lilinnya penuh-penuh di atas tempat tidur tersebut, dan ketika mereka melihat Puteri Salju berbaring mereka hampir terjatuh karena herannya.

"Astaga," teriaknya,
"Alangkah cantiknya anak ini?"

Mereka begitu terpesona oleh kecantikannya sehingga mereka tidak membangunkan mereka tapi membiarkannya tidur di atas tempat tidur kecil itu. Manusia kerdil yang ketujuh tidur dengan teman-temannya satu jam di atas masing-masing tempat tidur, dan dengan cara ini mereka bisa melewati malam itu.Pada pagi hari Puteri Salju terbangun, dan ketika ia melihat ketujuh manusia kerdil itu ia merasa ketakutan. Tapi mereka begitu ramah, dan bertanya kepadanya siapa namanya dengan cara yang ramah, yang ia jawab,

"Aku Snow White."
"Mengapa kau datang ke rumah kami?" lanjut ketujuh manusia kerdil itu.

Kemudian ia menceritakan kepada mereka bagaimana ibu tirinya ingin membunuhnya, dan bagaimana pemburu sang Ratu telah membiarkan dirinya hidup, dan bagaimana ia telah berlari sepanjang hari sampai ia datang ke rumah mereka yang kecil itu. Orang-manusia kerdil itu, begitu mendengar kisahnya yang sedih, bertanya kepadanya,

"Maukah kau tinggal dan menjaga rumah kami, memasak, membereskan tempat tidur, mencuci, menjahit dan merajut? Jika kau bisa menjaga segala sesuatu tetap bersih dan rapi, kau tidak usah repot-repot mencari kebutuhan hidupmu."

"Ya," jawab Puteri Salju,

"Aku akan senang melakukan apa yang kalian minta."

Dan demikianlah ia hidup senang dengan mereka. Setiap pagi orang-manusia kerdil tersebut masuk ke dalam gunung untuk menggali emas, dan mereka pulang bila hari sudah senja, Puteri Salju selalu menyiapkan makan malam mereka. Tapi selama siang hari ia ditinggal sendirian saja, sehingga orang-manusia kerdil yang baik hati itu mengingatkannya, dengan berkata,

"Waspadalah terhadap ibu tirimu. Ia akan segera mengetahui kau ada di sini, dan apapun yang kau lakukan jangan ijinkan orang lain masuk kedalam rumah."

Sekarang si Ratu tidak pernah bermimpi kecuali bahwa sekali lagi ia adalah orang yang paling cantik di dunia; maka, setelah melangkah di depan cerminnya pada suatu hari, ia berkata:

"Cermin, cermin, di dinding, Siapa yang tercantik di antara kita semua?"

dan cermin itu menjawab:

"Kau memang cantik, Ratuku, itu memang benar,Tapi Puteri Salju jauh lebih cantik daripada kamu. Puteri Salju, yang hidup bersama tujuh manusia kerdil,secantik kamu dan lebih cantik lagi".
Kemudian Ratu mendengar kata-kata ini ia hampir bisu karena rasa takutnya, karena cermin itu selalu berkata benar. Ia tahu sekarang bahwa si pemburu pasti telah menipu dirinya dan bahwa Puteri Salju sekarang masih hidup. Siang malam ia berpikir keras bagaimana ia bisa menghancurkannya, karena hatinya yang penuh kedengkian tidak membuatnya tenang. Akhirnya ia membuat suatu rencana. Ia mengotori wajahnya dan berdandan seperti seorang wanita penjaja tua, sehingga ia sangat tidak mudah untuk dikenali.
Dalam penyamaran ini ia pergi ke tujuh bukit sampai akhirnya ia datang ke rumah ketujuh manusia kerdil tersebut. Di sana ia mengetuk pintu, meneriakkan barang dagangan pada saat yang sama:
"Dijual barang-barang bagus; dijual barang-barang bagus!"
Puteri Salju mengintip keluar jendela dan berkata kepadanya,
"Selamat siang, mbok, apa yang kau jual?"
"Barang-barang bagus, barang-barang bagus," jawabnya,
"renda berbagai macam bentuk dan warna."
Dan ia memegang satu buah renda yang terbuat dari sutera yang berwarna cerah.
"Tentu aku bisa mengijinkan masuk wanita yang jujur ini," kata Puteri Salju,
dan ia membuka palang pintu dan membeli renda yang cantik itu.
"Manis sekali, nak," kata wanita tua itu,
"betapa pantasnya buatmu! Ayo! Akan kuikatkan sekalian padamu dengan pas."
"Puteri Salju, tanpa curiga terhadap niat jeleknya, berdiri di hadapannya dan membiarkan ia mengikat korsetnya; tapi wanita tua itu mengikatnya begitu cepat dan begitu kencang sehingga membuat Puteri Salju kehabisan nafas, dan ia jatuh seakan-akan ia telah mati."
"Sekarang kau bukan lagi yang tercantik," kata wanita jahat itu, dan kemudian ia segera pergi."
Pada petang itu ketujuh manusia kerdil itu datang ke rumah, dan betapa takutnya mereka begitu mereka melihat Snow Whitenya yang tersayang tergeletak di atas lantai, tenang dan tak bergerak sama seperti orang mati. Mereka mengangkatnya dengan pelan-pelan sekali, dan ketika mereka tahu betapa kencangnya renda yang mengikatnya mereka langsung memotongnya, dan ia mulai bernafas kembali sedikit dan berangsur-angsur kembali hidup lagi.
Ketika orang-manusia kerdil tersebut mendengar apa yang telah terjadi, mereka berkata, "Berdasarkan kenyataan ini, wanita tua penjaja keliling itu tak lain adalah si Ratu. Di masa yang akan datang kau jangan memasukkan siapapun kedalam rumah jika kami tidak ada di rumah."
Segera setelah sampai di rumah Ratu langsung pergi ke cermin ajaibnya dan berkata:
"Cermin, cermin, pada dinding, Siapa yang paling cantik di antara kami semua?"
dan cermin itu menjawab sebagaimana sebelumnya:
"Kau cantik, Ratuku, itu memang benar. Tapi Puteri Salju jauh lebih cantik daripada kamu. Puteri Salju, yang hidup bersama ketujuh manusia kerdil itu, Sama cantiknya dengan kamu, dan bisa lebih cantik lagi."
Begitu mendengar jawaban ini, Ratu menjadi pucat seperti orang mati, karena seketika itu juga ia tahu bahwa Puteri Salju pastu masih hidup.
"Kali ini," katanya kepada dirinya sendiri, "aku harus berpikir sesuatu yang bisa mengakhiri hidupnya sekali lagi dan untuk selamanya."
Dan dengan keahlian ilmu hitamnya yang ia pahami begitu baik ia membuat sisir beracun. Kemudian ia berdandan dalam rupa wanita tua lainnya. Begitulah ia pergi ke tujuh bukit dan akhirnya sampai di rumah ketujuh manusia kerdil, dan sambil mengetuk pintu ia berteriak,
"Jual barang-barang bagus."
Puteri Salju melihat keluar jendela dan berkata,
"Kau harus pergi dari sini, karena aku tidak diijinkan siapapun masuk ke sini."
"Tapi sesungguhnya kau tak dilarang untuk melihat keluar?" tanya wanita tua itu dan ia memegang sisir beracun agar ia lihat.
Sisir ini begitu menarik hati gadis itu sehingga ia membuka pintu. Begitu mereka sepakat tawar-menawar mereka, wanita tua itu berkata,
"Ayo, akan kusisir rambutmu biar rapi."
Puteri Salju yang malang tidak curiga terhadap niat jahat wanita itu, tapi begitu sisir itu menyentuh rambutnya racun itu langsung bereaksi, dan ia jatuh tak sadarkan diri.
"Sekarang, nona manis, kali ini kau benar-benar mampus," kata wanita jahat itu dan ia segera pulang secepat mungkin.
Untungnya saat itu hampir petang dan ketujuh manusia kerdil itu datang di rumah. Ketika mereka melihat Puteri Salju tergeletak di atas tanah, seketika mereka menduga bahwa Ratu jahat itu telah berulah lagi. Maka ia mencari-cari sampai menemukan sisir beracun tersebut, dan
saat itu juga mereka mencabutnya dari rambutnya.
Puteri Salju mulai sadar lagi dan mengatakan kepada mereka apa yang telah terjadi. Maka sekali lagi mereka mengingatkannya untuk tidak membukakan pintu kepada siapapun. Segera setelah Ratu itu sampai di rumah ia langsung pergi ke cermin ajaibnya, dan bertanya:
"Cermin, cermin, pada dinding, Siapa yang paling cantik di antara kami semua?"
dan cermin itu menjawab sebagaimana sebelumnya:
"Kau cantik, Ratuku, itu memang benar. Tapi Puteri Salju jauh lebih cantik daripada kamu. Puteri Salju, yang hidup bersama ketujuh manusia kerdil itu, Sama cantiknya dengan kamu, dan bisa lebih cantik lagi. Begitu mendengar kata-kata ini ia langsung naik pitam.
"Puteri Salju harus mati!" teriaknya.
"Harus, meskipun nyawaku sendiri taruhannya."
Kemudian ia pergi ke kamar rahasia, yang tidak seorangpun tahu kecuali dirinya sendiri, dan di kamar itu ia membuat apel beracun. Dari luar apel itu kelihatan cantik, separoh putih dan separoh merah siapapun yang melihatnya pasti sangat ingin memakannya. Ketika apel itu sudah beres, ia menodai mukanya sendiri dan berdandan sebagai seorang petani dan pergi ke tujuh bukit menuju ke rumah ketujuh manusia kerdil itu. Ia mengetuk pintu, tapi Puteri Salju mengeluarkan kepalanya lewat jendela dan berkata,
"Aku tidak boleh mengijinkan siapapun masuk rumah. Ketujuh manusia kerdil itu telah melarangku melakukannya."
"Apakah kau takut keracunan?" tanya wanita tua itu.
"Lihat, aku akan membelah apel ini manjadi dua. Aku akan memakan bagian yang berwarna putih dan kau dapat makan yang berwarna merah."
Apel itu dibuat begitu mahir sehingga hanya bagian yang berwarna merah saja yang beracun. Puteri Salju sangat ingin memakan buah yang sangat menggoda selera itu, dan begitu ia melihat bahwa wanita petani sedang memakannya sendiri, ia tak bisa menahan godaan itu lagi dan, sambil mengulurkan tangannya, ia mengambil separoh apel beracun itu. Tapi begitu apel beracun itu meliwati kedua bibirnya ia langsung jatuh mati di atas tanah. Kemudian kedua mata Ratu jahat itu berbinar-binar dan sambil tertawa keras, ia berteriak,

"Seputih salju, semerah darah, dan sehitam kayu eboni, kali ini orang-manusia kerdil itu tak akan bisa menolongmu lagi."
Ketika tiba di rumah ia bertanya kepada cermin ajaibnya:
"Cermin, cermin, pada dinding, Siapa yang paling cantik di antara kami semua?"
dan cermin itu menjawab sebagaimana sebelumnya:
"Kau, Ratu, adalah orang yang paling cantik di dunia."
Kemudian hatinya yang penuh dengan kedengkian itu merasa tenang, paling tidak setenang hati yang dengki yang pernah bisa tenang. Ketika orang manusia kerdil itu tiba di rumah pada senja hari mereka mendapati Puteri Salju tergeletak di atas tanah, dan ia sudah tak bernafas maupun tak bergerak. Mereka mengangkatnya dan melihat ke mana-mana untuk mengetahui apakah mereka dapat menemukan sesuatu yang beracun di sekitarnya. Mereka melepaskan korsetnya, menyisir rambutnya, membasuhnya dengan air dan anggur, tapi sia-sia belaka: anak itu telah mati dan tetap mati.

Kemudian mereka menempatkannya diatas sebuah tandu jenazah, dan ketujuh manusia kerdil itu duduk di sekitarnya, menangis dan terisak-isak selama tiga hari penuh. Akhirnya mereka memutuskan untuk menguburkannya, tapi ia kelihatan sesegar orang hidup, dan kedua pipinya masih berwarna cemerlang sehingga mereka berkata,
"Kita tak bisa menguburkannya didalam tanah yang gelap."
Maka mereka membuat sebuah peti jenazah yang terbuat dari kaca yang tembus pandang, dan mereka membaringkan Puteri Salju di dalamnya dan di atas tutupnya mereka menulis dengan huruf-huruf emas bahwa ia adalah seorang puteri kerajaan. Kemudian mereka menempatkannya peti jenazah itu di atas puncak gunung, dan salah seorang manusia kerdil selalu berada di sampingnya dan mengawasinya. Dan burung-burung yang terbang di udara datang dan meratapi kematian Puteri Salju, pertama adalah seekor burung hantu, dan kemudian seekor burung gagak, dan kemudian seekor burung merpati kecil. Puteri Salju berbaring didalam peti jenazah itu lama sekali, dan ia selalu tampak sama, seakan-akan ia sedang tertidur lelap, tetap seputih salju, semerah darah dan rambutnya sehitam kayu eboni.
Nah kebetulan suatu seorang Pangeran datang ke hutan dan melewati rumah orang manusia kerdil itu. Ia melihat peti jenazah diatas bukit itu dengan Puteri Salju nan cantik itu di dalamnya, dan ketika ia membaca huruf-huruf emas yang tertulis di sana, ia berkata kepada manusia kerdil itu,
"Berikan peti jenazah itu kepadaku. Kau akan menerima apapun yang kau minta."
Tapi manusia kerdil itu menjawab,
"Tidak, kami tak mau berpisah dengannya meskipun diberi seluruh emas di dunia."
"Baiklah, kalau begitu," kata sang Pangeran,
"berikan peti itu kepadaku hanya karena aku tidak bisa hidup tanpa Puteri Salju. Aku akan menghargai dan menyayanginya sebagai milikku yang paling kucintai."
Ia berkata dengan begitu sedih sehingga orang-manusia kerdil yang baik hati itu merasa kasihan kepadanya dan memberikan peti jenazah itu kepadanya, dan sang Pangeran menyuruh pelayan-pelayannya untuk memikul peti itu. Saat mereka menuruni bukit itu mereka tersandung sebuah semak dan menyentakkan peti jenazah itu begitu kerasnya sehingga potongan apel beracun itu keluar dari mulut Puteri Salju. Ia membuka kedua matanya, membuka tutup peti jenazah dan duduk dalam keadaan hidup dan sehat wal afiat.
"Oh, astaga, di mana aku?" teriaknya.
Sang Pangeran menjawab dengan senangnya, "Kau bersamaku."
Ia mengatakan kepadanya apa yang telah terjadi, seraya menambahkan,
"Puteri Salju, aku lebih mencintaimu daripada siapapun di seluruh dunia yang luas ini. Maukah kau ikut bersamaku ke istana ayahku dan menjadi isteriku?"
Puteri Salju setuju dan pergi bersamanya, dan pernikahan itu dirayakan dengan sangat meriah. Adapun ibu tiri Puteri Salju termasuk salah satu tamu yang diundang ke pesta pernikahan itu. Ketika ia telah berdandan dengan sangat indah demi menghadiri pesta tersebut, ia pergi ke cermin ajaib, dan berkata:
"Cermin, cermin, pada dinding, Siapa yang paling cantik di antara kami semua?, dan cermin itu menjawab sebagaimana sebelumnya:
"Kau cantik, Ratuku, itu memang benar, Tapi pengantin wanita sang Pangeran jauh lebih cantik daripada kamu. Begitu mendengar kata-kata ini wanita jahat itu menjadi sangat marah dan malu. Semula ia tak ingin pergi ke pernikahan itu, tapi pada saat yang sama ia rasa ia tidak akan pernah merasa tenang sebelum melihat Ratu muda itu. Saat ia masuk, Puteri Salju mengenalinya dan hampir pingsan karena ketakutan. Tapi sepasang sepatu besi yang sangat panas dipersiapkan secara khusus untuk Ratu tua yang jahat itu, dan ia dipaksa untuk mengenakannya dan berdansa sampai tersungkur mati. (TAMAT)
DITERJEMAHKAN MAY SELLAR.

TIMUN MAS

Pada jaman dahulu kala hiduplah seorang janda yang sudah berusia senja bernama Mbok Sirni yang sangat menginginkan seorang anak. Selama ini mbok Sirni hidup sendirian dan kesepian. Seorang anak baginya adalah tempatnya mencurahkan kasih sayang.

Suatu hari mbok Sirni pergi ke gunung untuk menemui seorang raksasa sakti. Raksasa sakti tersebut bersedia memenuhi permintaannya dengan syarat jika nanti anak tersebut sudah dewasa maka anak tersebut harus diserahkan kepadanya untuk disantap. Mbok Sirni menyetujui syarat tersebut, maka sang raksasa memberinya biji mentimun untuk ditanam.

Mbok sirni menanam dan merawat tanaman mentimun tersebut hingga beberapa minggu kemudian tanaman tersebut berbuah dengan lebat. Di antara buah-buah mentimun tersebut ada satu yang berbeda dari buah lainnya. Buah mentimun tersebut sangat besar dan berkilau seperti emas. Mbok Sirni memetik buah mentimun tersebut dan membelahnya. Ajaib, di dalam mentimun tersebut tergolek seorang bayi perempuan yang mungil dan cantik.
“Oh, terima kasih Tuhan atas keajaiban ini!” isak mbok Sirni dengan penuh rasa syukur.

Mbok Sirni menamai anak gadisnya Timun Mas. Beliau merawat dan mencintainya dengan sepenuh hati hingga Timun mas tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. Namun semakin dewasa Timun mas semakin cemas mbok Sirni. Dia teringat perjanjiannya dengan sang raksassa sakti. Tentu saja dia tidak rela menyerahkan anak yang disayanginya untuk menjadi santapan raksasa. Maka di tengah keputusasaannya, mbok Sirni menemui seorang pertapa sakti di lereng gunung untuk meminta pertolongan.

Setelah menempuh perjalanan yang sulit akhirnya mbok Sirni tiba di pertapaan. Seorang kakek tua berjubah putih menyambutnya. Dia sudah tahu apa yang diinginkan oleh mbok Sirni. Maka pertapa tersebut memberinya 4 bungkusan kecil. “Jika raksasa itu datang, suruhlah Timun mas untuk melarikan diri. Dan bawalah keempat bungkusan ini. Ini akan membantu Timun mas meloloskan diri. Isinya adalah biji mentimun, jarum, garam,dan terasi. Taburkanlah secara berurutan!” kata sang Pertapa.

Setelah memohon diri mbok pergi meninggalkan pertapaan dengan gembira.

Beberapa hari kemudian raksasa sakti itu datang hendak menagih janji. Dari kejauhan sudah terdengar dentuman langkahnya yang menggetarkan bumi. Dengan cepat mbok Sirni menyuruh Timun mas melarikan diri.

Timun mas berlari secepat kakinya bisa membawanya.

Raksasa yang melihat buruannya melarikan diri menjadi geram dan dengan cepat mengejarnya. Semakin lama jarak Timun mas dan raksasa semakin dekat.

Timun mas segera menaburkan bungkusan pertama yang berisi biji mentimun. Tiba-tiba terhamparlah ladang mentimun yang berbuah lebat. Raksasa yang sedang kelaparan segera melahap buah-buah mentimun tersebut hingga perutnya kekenyangan.

Sementara Timun mas menggunakan kesempatan tersebut untuk kembali berlari.

Sayang raksasa itu sangat sakti. Sekejap saja dia sudah akan menyusul timun mas.

Timun mas segera menaburkan jarum yang secara ajaib berubah menjadi hutan bambu yang tinggi dan berduri. Langkah raksasa itu pun terhambat karena kakinya terluka oleh duri-duri bambu.

Setelah berhasil membebaskan diri dari hutan bambu, raksasa mempercepat langkahnya sehingga hampir menyusul Timun mas. Kembali Timun mas menaburkan kantung kecil yang kini berisi garam. Dan dalam sekejap terhamparlah lautan yang luas. Namun berkat kesaktiannya, raksasa tersebut bisa berenang dengan cepat melewati lautan tersebut.

Ketika jarak raksasa itu semakin dekat dan timun mas hampir kehabisan nafas, Timun mas menaburkan bungkusan keempatnya yang berisi terasi dan tiba-tiba saja tercipta lautan lumpur yang mendidih. Raksasa itu pun mati mengenaskan ditelan lumpur panas tersebut.

Semenjak itu sang Timus Mas hidup bahagia selamanya dengan Mbok Sirni yang ia cintai dan sayangi.


pesan :
"bila kita selalu sabar dan berbakti kepada orang tua yang membesarkan kita, Tuhan Yang Maha Kuasa akan selalu melindungi kita dari orang jahat."

Telah Dikunjungi :